Rabu, 13 April 2016

Bahagia

Tulisan ini terinspirasi dari buku Terapi Pikiran Bahagia karya Oktastika Badai Nirmala seorang motivator asal Surabaya.

Saya ingin mengatakan kepada sahabat "JANGAN BAYANGKAN GAJAH TERBANG, SEKALI LAGI ANDA TIDAK BOLEH MEMBAYANGKAN GAJAH TERBANG, SAYA MELARANG ANDA MEMBAYANGKAN GAJAH TERBANG" kira-kira apa yang sahabat pikirkan? Apakah malah berimajinasi tentang gajah terbang? Faktanya memang demikian, sayapun begitu saat Pak Okta memberi larangan.
Ini bukanlah salah sahabat, sebab ternyata data dalam pikiran disimpan dalam bentuk gambar hanya informasi yang bergambar saja yang akan direspon oleh otak, sedangkan kata "jangan", "tidak boleh", dan "dilarang" adalah konsep abstrak yang tidak bisa dicitrakan kedalam gambar. Sehingga saat sahabat dilarang dengan kata "jangan bayangkan gajah terbang" justru sahabat hanya merespon "bayangkan gajah terbang" saja.

Bila kita perhatikan anak kecil saat dilarang orang tuanya dengan kata-kata "jangan lari-lari, nanti jatuh" justru apa? Malah anak tersebut berlari semakin kencang, lalu saat suasana berisik kemudian dilarang dengan kata "jangan berisik!" Malah anak semakin berisik, sebab otak tidak bisa merespon kata negatif hanya kata bermuatan positif saja. Ini bukan hanya berlaku untuk anak kecil tapi kita yang sudah dewasa juga sering mengalaminya bukan? Seperti bila sahabat berkata "jangan malas", "saya tidak ingin gagal" malah yang terjadi kita menjadi malas dan gagal. Sehingga cara yang paling tepat yaitu mengganti kata-kata yang bermuatan negatif dengan kata-kata yang bermuatan positif seperti "saya ingin rajin" sehingga otak akan meresapi kata "rajin" dalam sistem pikiran.

Sejalan dengan hal di atas, setiap peristiwa kehidupan yang terjadi baru akan mendatangkan suatu kesan jika sahabat sendiri yang memberikan makna terhadapnya. Tentu saja, maknanya bisa positif maupun negatif, tergantung bagaimana sudut pandang sahabat pakai. Sebagai contoh, dulu saat saya masuk SMA berbarengan dengan kakak perempuan saya masuk sekolah kedinasan. Tanpa sadar saya terdoktrin bahwa saya harus dan pasti diterima di sekolah kedinasan, maka saat itu saya merasa bisa dan harus bisa melakukannya. Saya mencurahkan hidup saya untuk bisa diterima di sekolah dinas, bukan hanya sekedar kata-kata motivasi saja yang saya terima dari keluarga tetapi tindakan terutama mulai dididik oleh kakak perempuan saya secara fisik baik saat kondisi puasa maupun tidak, ditambah sepupu juga mengajari saya soal-soal yang biasanya keluar saat tes akademik, semuanya bagai pelecut semangat untuk saya. Otomatis saya memiliki keyakinan lebih, pasti dan harus bisa diterima di sekolah kedinasan. Seiring waktu, saat mengikuti rentetan seleksi di beberapa sekolah kedinasan juga dibelbagai tempat, saya pun melaluinya dengan lancar.
Seleksi sekolah kedinasan dengan sistem gugur sudah saya lewati di awal sehingga menambah semangat saya, tiba saatnya kenyataan tidak sejalan dengan keinginan, satu persatu seleksi yang saya ikuti di belbagai sekolah mulai tidak lolos dan berakhir tahun itu saya gagal masuk sekolah ikatan dinas.

Waktu itu masih tetap semangat keluarga juga terus mendukung saya hingga tahun berikutnya mengikuti lagi seleksi dari awal, namun seperti mengulang masa lalu saya tidak lolos di pertengahan jalan dan kali ini saya benar-benar limbung, kecewa, dan marah, akhirnya pelarian saya adalah bekerja dan memutuskan untuk tidak lanjut kuliah dulu. Suatu hari saya berkeinginan untuk melanjutkan lagi pendidikan di salah satu universitas negeri di Jakarta namun ternyata tidak diizinkan dengan alasan yang menurut saya kurang logis dan hanya diberikan satu pilihan yaitu hanya boleh kuliah di daerah saja. Rasa kecewa yang dulu masih ada ditambah yang ini membuat saya semakin kecewa, mau tidak mau, suka tidak suka hanya ini pilihan saya, awalnya setengah hati melanjutkan kuliah di sini sehingga suatu saat diadakan seminar Pak Okta berhubung saya bekerja jadi tidak bisa datang dan hanya diberikan bukunya.
Setelah membaca buku itu rasanya tuh tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hampir 3 tahun saya berorientasi dengan kesedihan yang nyatanya membuat hidupku tidak bahagia, begitu lamanya saya berada dititik terbawah hidupku memandang lewat sudut negatif, saya tidak mau berandai-andai sebab itu malah membuatku semakin terpuruk justru saya harus bangkit dan menata ulang hidup.

Setiap orang memiliki masalahnya masing-masing tergantung bagaimana menyikapinya seperti ada pepatah menyatakan "Masalah tetap menjadi masalah jika dianggap sebagai masalah" saat keadaan seperti inilah kita akan tahu siapa diri kita sebenarnya, jika sahabat adalah orang yang berorientasi pada kebahagiaan maka setelah sahabat melewati masa krisis tenggelam dalam kesedihan mendalam, sahabat justru menemukan hikmah darinya. Muncul kesadaran dalam diri sahabat bahwa hidup harus tetap maju dan perjuangkan hidup sahabat.

1 komentar: